Infoberitadunia – Film animasi lokal Merah Putih: One For All tengah menjadi sorotan publik setelah perilisan trailer-nya baru-baru ini. Alih-alih mendapat sambutan positif, film ini justru menuai kritik pedas dari warganet hingga praktisi industri kreatif.
Salah satu kritik terbesar tertuju pada kualitas visual yang dinilai kaku, ekspresi minim, serta detail grafis yang disebut mirip game era PlayStation 2. Banyak yang menyayangkan hasil ini, mengingat film tersebut diproyeksikan tayang di bioskop dan membawa tema nasionalisme.
Beberapa penonton membandingkannya dengan film animasi lokal lain seperti Jumbo, yang dinilai jauh lebih unggul dari segi grafis maupun storytelling.
Premis Merah Putih: One For All menceritakan petualangan sekelompok anak dalam mencari bendera pusaka. Namun, alur cerita ini dianggap datar, penuh klise, dan mirip narasi iklan layanan masyarakat ketimbang film edukatif yang menyentuh hati.
Kritik juga datang pada dialog yang terdengar kaku. Banyak warganet menduga penggunaan suara berbasis AI, karena intonasi terdengar datar dan tidak sinkron dengan gerakan bibir.
Tak hanya visual dan cerita, film animasi garapan produser Toto Soegriwo juga disorot karena dugaan penggunaan aset 3D yang dibeli dari platform seperti Reallusion. Karakter dalam film terlihat memiliki kemiripan mencolok dengan model yang dijual di Content Store, sehingga menimbulkan pertanyaan soal orisinalitas.
Yang membuat publik makin terheran adalah informasi bahwa biaya produksi film ini mencapai sekitar Rp6,7 miliar. Angka tersebut dinilai tidak sebanding dengan hasil trailer yang dirilis, sehingga memunculkan tanda tanya terkait alokasi dana produksi.
Beberapa warganet menilai Merah Putih: One For All sebagai proyek yang terkesan “dadakan” untuk menyambut peringatan HUT ke-80 RI. Meski demikian, ada juga yang melihatnya sebagai langkah awal yang masih perlu banyak perbaikan untuk kemajuan industri animasi Indonesia.