JAKARTA – Pakar ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy menilai, pernyataan Presiden Prabowo Subianto akan bertanggung jawab dalam penyelesaian utang proyek Kereta Whoosh, tidak bisa hanya dimaknai sebagai keputusan membayar kewajiban finansial saja.
Diingatkan Noorsy, terdapat persoalan hukum dan akuntabilitas kebijakan yang cukup serius melingkari proyek ambisius rezim Jokowi yang dibiayai utang US$7,27 miliar, atau setara Rp120 triliun (kurs Rp16.600/US$).
“Jika Pemerintah Indonesia ingin menunjukkan good governance, penyelenggaraan negara yang didasari semangat dan nilai-nilai UUD 1945, dan bertujuan meningkatkan kepercayaan publik, baik domestik dan global, maka tidak layak membungkam proses hukum di proyek Kereta Whoosh,” teran Noorsy kepada Inilah.com, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Ia mengatakan, penyelesaian utang dari proyek Kereta Whoosh yang dulunya bernama Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), merupakan pertarungan kredibilitas pemerintahan.
Karena itu, menurut mantan anggota Pansus Bank Bali DPR di era 1998 itu, pemerintah tidak boleh hanya berfokus kepada langkah pragmatis berupa penyelesaian utang. Namun perlu memastikan proses hukum dugaan korupsi proyek Kereta Whoosh tetap berjalan.
“Kusutnya kebijakan yang menjadi busuk, seperti kata Luhut Binsar Pandjaitan, diulang pada opsi antara kereta cepat model Jepang atau model China. Kusut yang menjadi busuk, itu terindikasi pada cost overrun (pembengkakan biaya),” ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, dibutuhkan audit menyeluruh terhadap pengerjaan Kereta Whoosh. Baik dari sisi hukum maupun pembiayaan. Selain itu, pemerintah perlu melakukan legal due diligence dengan pendekatan struktural fundamental, serta financial due diligence dengan pendekatan struktural fungsional.
“Pendekatan ini mewajibkan dilakukannya investasi audit pada kebijakan dan pembiayaan,” jelas Noorsy.
Ia juga menyinggung soal posisi strategis China dalam proyek tersebut. Menurutnya, Kereta Whoosh merupakan cerminan kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) China, sehingga persoalan ini berkaitan langsung dengan reputasi BUMN China dan Pemerintahan China di bawah Xi Jinping.
“Karena alasan itu, China tidak akan mau melakukan audit investigasi. Bau menyengat yang tidak sedap itu, menurunkan posisi tawar China yang sedang menjual teknologi, uang dan membuka lapangan kerja bagi warganya,” jelas dia.
Beban Berat Kereta Whoosh
Sebelumnya, mantan Menkopolhukam, Mahfud Md menyebut kuatnya dugaan mark-up biaya pengerjaan proyek Kereta Whoosh. Misalnya, biaya pembangunan kereta cepat di Indonesia (Kereta Whoosh) mencapai US$52 juta per kilometer.
Sedangkan biaya pengerjaan kereta cepat di Cina berada di kisaran US$17 juta-18 juta per kilometer. Adanya selisih yang cukup jumbo inilah yang harus ditelusuri. Apakah ada tindak pidana korupsi atau tidak.
Advertisement
“Dugaan mark-upnya gini. Menurut pihak Indonesia, biaya per 1 kilometer kereta Whoosh itu 52 juta dolar AS. Tapi di Cina hanya 17 sampai 18 juta dolar AS per kilometer. Kok naik tiga kali lipat. Ini yang harus dikejar,” kata Mahfud dikutip dari akun YouTube Mahfud MD Official.
Selanjutnya, Mahfud mendesak pihak terkait untuk menyelidiki dugaan tersebut sehingga mengetahui sosok yang diduga melakukan mark up. Pembahasan ini tidak lepas dari utang proyek kereta cepat Whoosh yang mencapai Rp4 triliun pada tahun 2025.
Mahfud menyinggung beratnya beban keuangan Kereta Whoosh, yang dipicu besarnya utang dan bunga. “Indonesia sepakat waktu itu, berdasarkan para ahli UI dan UGM bisa dibangun dengan bunga 0,1 persen dengan Jepang. Tiba-tiba pindah ke Cina dengan bunga 2 persen. Dan ada cost overrun atau pembengkakan, bunganya naik menjadi 3,4 persen,” ujar Mahfud.
Naiknya bunga utang Kereta Whoosh ini, kata dia, mengakibatkan Indonesia kesulitan membayar utang kepada Cina.






